6/17/2012 06:17:00 PM
Unknown
Comments
“Islam
itu bersih, maka bersihkanlah dirimu. Sesungguhnya, tidak akan masuk surge
kecuali orang yang bersih.” (HR. Dailami)
Maha
Agung Allah swt. yang telah menunjukkan hamba-Nya tentang warna-warni hidup.
Hidayah-Nya menguatkan sinar fitrah manusia yang putih untuk tetap putih. Dan
yang sebelumnya hitam menjadi kembali putih dan bersih. Putih menunjukkan
kebersihan. Dan hitam menunjukkan kekotoran. Keduanya tidak akan menyatu.
Seperti itulah sunnatullah buat semesta alam.
Hamba
Allah yang istiqamah akan senantiasa menjaga diri supaya tetap bersih. Karena
bersih menarik berbagai kemudahan dan keberkahan hidup. Di antaranya :
Kesuksesan berbanding lurus dengan kebersihan.
Tiap
orang pasti ingin hidup sukses. Mereka berusaha mencari jalan agar sukses cepat
diraih. Mulai dari persiapan dalam diri hingga upaya sungguh-sungguh mencari
dukungan luar. Bisa berupa ilmu, modal usaha, relasi kerja, dan lobi-lobi dalam
dunia politik.
Sayangnya,
tidak semua orang menyadari bahwa kesuksesan diri bersifat menyeluruh. Artinya,
tidak melulu pada sukses bisnis, studi, jodoh, dan karir. Tapi, mesti mencakup
segala sisi diri seorang manusia.
Itu
bisa berarti apa saja yang ada dalam diri seperti hati yang melahirkan
motivasi, akal yang merangsang tumbuhnya gagasan, dan pemenuhan kebutuhan jasad
yang menghasilkan keseimbangan tubuh. Juga, segala hal yang melingkupi luar dir
seperti hubungan harmonis dengan lingkungan, kemampuan meningkatkan sumber daya
dan lain-lain.
Namun,
semua unsure sukses itu akan menemui jalan buntu jika inti dalam diri masih
labil, kotor, dan tidak terawatt. Itulah yang disebut hati dan jiwa. Hati dan
jiwalah yang akhirnya menjadi penentu seperti apa motivasi, gagasan,
kasungguhan gerak akan bergulir. Jika hati dan jiwanya keruh, maka aliran
motivasi, gagasan, gerak oleh tubuh akan tersendat. Kalau pun dipaksakan untuk
berjalan akan tampil kacau dan tak seimbang.
Seperti
itulah yang kini dialami mereka yang jiwanya kering dari sentuhan iman.
Gemerlap materi sama sekali tidak mampu membendung gelisah. Selalu tidak pernah
puas. Bhkan, mereka tidak mau lagi tahu mau kemana diri berjalan. Kesusesan
menjadi fatamorgana yang terlihat begitu melimpah, pada hakikatnya kosong tanpa
makna.
Maha
benar Allah dalam firman-Nya, “Sungguh beruntung mereka yang mensucikan
jiwanya. Dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.” (QS. Asy Syams : 9-10)
Seorang
hamba Allah yang takwa teramat sadar kalau sukses bukan Cuma pada takaran
dunia. Tapi juga untuk kehidupan akhirat. Dua target ini seolah terpisah. Tapi
sebenarnya satu dan mengikat.
Sukses
hidup buat seorang mukmin tidak identik dengan melimpahnya kekayaan, kesuksesan
karir, mudahnya jodoh, dan kehormatan sebuah jabatan. Sukses hidup sebenarnya
adalah ketika seorang hamba menemui ajalnya dalam rengkuhan ridha Allah swt.
Kasih sayang Allah bersama mereka yang
bersih.
Tidak
ada tujuan hidup yang lebih tinggi kecuali menggapai ridha Allah. Apalah arti
seorang manusia buat seorang mukmin tanpa ridha dan kasih saying Allah swt.
Karena semua kasih saying manusia sangat berbatas. Kalau tidak pada mutu, pasti
pada ukuran waktu.
Sayangnya,
kekerdilan nalar manusia kadang menggiringnya pada kesimpulan yang dangkal.
Kasih saying disamakan dengan kemudahan dan kenyamanan hidup. Padahal hidup tak
lebih dari sekadar ruang ujian. Semakin sulit soal yang diterima, kian tinggi
mutu seorang murid. Dan kebahagiaan sejati terlahir ketika seorang murid
mendapat nilai akhir yang sangat memuaskan.
Sesuatu
yang suci akan selalu bersama dengan yang bersih. Allah swt. Maha Suci, dan
senantiasa mencurahkan kasih saying-Nya pada hamba-hamba-Nya yang bersih.
Kebersamaan akan melahirkan ikatan. Dan ikatan akan membuahkan cinta dan kasih
saying.
Maha
Benar Allah dengan firman-Nya, “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang
tobat dan mencintai orang-orang yang menyucikan dirinya.” (QS. Al Baqarah :
222)
Simpati dan dukungan selalu tertuju pada
yang bersih.
Setiap
manusia punya fitrah. Dan fitrah akan selalu condong pada yang bersih. Siapa
pun dia, kecenderungan pada yang bersih akan selalu ada. Sejalan dengan
kecenderungan itu, fitrah pun mengajak manusia membenci yang kotor.
Begitulah
saat manusia mencintai kebersihan dan keindahan. Ketika manusia suka dengan
yang teratur, disiplin dan kejujuran. Ketika manusia benci kotoran, kebusukan,
dan kesombongan.
Sayangnya,
debu-debu kehidupan kerap menciderai fitrah. Bisa berupa tarikan nafsu
berkuasa, takut hidup susah, dan kecenderungan mencintai kenikmatan hidup. Jika
ini tak segera dibenahi, cahaya fitrah akan redup.
Namun
begitu, cahaya fitrah ini akan kembali bersinar ketika ada tarikan dari
kekuatan fitrah yang lebih besar. Lambat laun, sinar fitrah yang semula redup
akan tergiring dan akhirnya bersinar terang.
Seperti
itulah ketika Rasulullah saw. menyatakan diri sebagai utusan Allah. Diam-diam
masyarakat melirik dan kemudian benar-benar tertarik. Termasuk para tokoh
Quraisy yang menyatakan diri memusuhi Rasulullah, padahal fitrahnya mulai hidup
bersama ajaran Rasulullah. Klau pun ada yang menyangkal, tak lebih dari
kepura-puraan dan gengsi. Dan untuk mengubah itu, Allah hany amemberi waktu
sekitar dua puluh tiga tahun. Sebuah perubahan yang teramat cepat.
Kebersihan
dan kekotoran tidak akan pernah sama. Juga, tak akan bisa menyatu. Yang berat
adalah ketika yang bersih terinfeksi dengan yang kotor. Maka keduanya akan
saling mempengaruhi. Dan semuanya berujung pada siapa yang paling kuat.
Semoga
kita tidak pernah beranggapan bahwa bersih serupa dengan stempel yang tidak
pernah berubah. Ia perlu pengawasan dan perawatan. Agar yang bersih dan putih
terus bersih. Kalau tidak, boleh jadi putih akan bergeser warna. Bisa
kehitam-hitaman, atau paling tidak abu-abu.
Sumber : Buletin Jum'at ZAKI